Menelaah Dinamika Yuridis dan Empiris PSU di Gorontalo Utara
|
Dalam semangat memperluas cakrawala keilmuan kepemiluan dan memperkaya pemahaman yuridis terhadap dinamika penyelenggaraan pemilihan, Divisi Hukum Bawaslu Provinsi Jawa Tengah kembali menyelenggarakan forum diskusi rutin Selasa Menyapa (SAPA) pada 5 Agustus 2025. Kegiatan ini menghadirkan narasumber Jhon Hendri Purba, Koordinator Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Provinsi Gorontalo, yang memaparkan kajian kritis bertema "Kajian Yuridis dan Empiris Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Kabupaten Gorontalo Utara Berdasarkan Putusan MK Nomor 55/PHPU.BUP-XXIII/2025."
Diskusi ini menjadi wahana berbagi pengetahuan antarprovinsi, khususnya bagi Bawaslu Jawa Tengah yang pada Pemilihan Serentak 2024 tidak mengalami pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Melalui pendekatan reflektif dan konstruktif, forum ini membuka ruang pembelajaran kolektif tentang bagaimana hukum pemilu diartikulasikan dalam realitas lapangan yang kerap kali diwarnai kompleksitas sosial, politik, dan administratif.
Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Gorontalo Utara Tahun 2024 tertuang dalam putusan no. 55/PHPU.BUP-XXIII/2025. Dalam salah satu amar pokok putusannya, adalah memutuskan untuk mendiskualifikasi Ridwan Yasin sebagai calon Bupati karena dinilai tidak memenuhi syarat pencalonan akibat masih berstatus sebagai terpidana
Dalam paparannya, Jhon menguraikan secara sistematis tentang konstruksi hukum yang melandasi Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Menurutnya dinamika ini sudah terjadi sejak penetpan calon, dimana Ridwan Yasin ditetapkan tidak memenuhi syarat. Padahal sebelumnya dinyatakan sebaliknya. Kelalaian KPU terjadi karena tidak menggati nomor surat Berita Acara penetapan calon, sehingga terdapat berita acara dengan lampiran yang berbeda dan semuanya dianggap berlaku, karena BA yang terakhir tidak menyatakan membatalkan BA yang awal. Dari itu Ridwan Yasin melapor ke Bawaslu, dan setelah dilakukan kajian, Bawaslu Gorontalo Utara memutuskan yang bersangkuta memenuhi syarat dengan pertimbangan merujuk pada peraturan sebelumnya yang status hukumnya sama, yaitu pidana pencemaran nama baik, dengan vonis pidana bersyarat (tidak menjalni hukuman di LP) yang mana hal tersebut diperbolehkan oleh MK.
John beranggapan MK tidak konsisten dengan putusan sebelumnya. “ketika MK mengacu pada kepastian hukum. Maka putusan MK terdahulu seharusnya menjadi kepastian hukum itu sendiri” ucapnya. Namun beliau tetap menghormati apapun putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Ia hanya berharap kedepan masalah sengketa administrasi menjadi kewenangan mutlak Bawaslu. Biarlah MK menangani sengketa hasil saja.
Diskusi yang berlangsung secara daring ini tidak hanya menghadirkan dimensi teoretis, namun juga menekankan pentingnya membangun mekanisme antisipatif dan adaptif bagi pengawas pemilu. Dalam konteks ini, Bawaslu dituntut tidak hanya memiliki ketajaman analisis hukum, tetapi juga kepekaan terhadap dinamika empiris yang membentuk lanskap pemilu.
Forum SAPA ini menjadi ruang dialektika intelektual yang produktif. Meskipun Jawa Tengah nihil PSU, namun kajian lintas wilayah semacam ini merupakan manifestasi dari semangat kolaboratif dan penguatan kapasitas kelembagaan. Dengan memahami praktik dan hambatan di daerah lain, Bawaslu Jawa Tengah berharap dapat memperkuat kesiapsiagaan institusional dalam mengawal integritas dan keadilan pemilu di masa mendatang (BAY).